Rabu, 28 Oktober 2015

trauma (18++) [jejak9]

Trauma [18++}


M
     endengar, melihat dan merasakan ekspresi seorang Istri dari sebuah penolakan hasrat seksual adalah sebuah malapetaka besar buat seorang Swami. Ketika dorongan  dan hasrat     seksual yang datang secara alamiah itu menjadi terhambat, dan diberhentikan mendadak,    dapatkah membayangkan apa yang dirasakan dan mendalami bagaimana perasaan yang dialami  swami saat kejadian itu?

Kejadian tersebut dapat dilustrasikan,  seperti  ketika seseorang yang sedang berkendaraan, dan  sedang asik menikmati laju jalannya kendaraan, tiba-tiba harus berhenti mendadak, disebabkan oleh adanya tarikan kuat agar kendaraan tersebut berhenti. Besar kemungkinan pengemudi kendaraan tersebut menjadi oleng, tidak stabil tentunya. Itu dampak kecil yang ditimbulkan bila saja pengemudi kendaraan tersebut berusaha untuk melakukan stabilitas kendaraanya. Tetapi bila pengemudi kendaraan tersebut tidak bisa melakukan stabilitas kendaraannya, bukan tidak mungkin, ia bisa terjatuh, terperosok, bahkan bisa menyebabkan sebuah kecelakaan fatal yang menyebabkan kematian.

Begitulah ilustrasi sederhana hal yang dialami oleh seorang swami ketika mengalami penolakkan penyaluran hasrat seksualnya terhadap istri. Pertanyaannya,  kemana lagi ia, para swami itu  harus menyalurkan hasrat seksual tersebut?  Bila swami yang lurus-lurus saja, boleh jadi ia akan berusaha sabar, istiqomah dan mengembalikan semua kepada Allah, seraya berdoa dan berpuasa guna dapat mengendalikan hasrat seksualnya. Pertanyaan selanjutnya, berapa lama ia, para swami harus bertahan dan mempertahankan kehidupan rumah tangga seperti itu?

Betapa banyak penyimpangan yang dilakukan oleh seorang swami yang diam-diam dia menyalurkan hasrat seksualnya dijalan yang haram, berzina dengan wanita yang bukan istrinya, entah dengan selingkuhannya, dengan TTM-annya (TTM=Teman Tapi Mesra), bahkan lebih ekstrim kepada pelacur. Dua kondisi itu adalah hal yang kemungkinan besar terjadi pada para swami yang mengalami kekecewaan terhadap istri akan peristiwa penolakan hasrat seksualnya.

Kedua kondisioner yang dialami swami tersebut,  sebenarnya ada dampak psikologis yang mendalam, pasca mengalami penolakan penyaluran hasrat seksualnya itu. Swami pastinya akan mengalami trauma yang tidak kecil. Mulai dari hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kepercayaan terhadap istri, takut dan terbayang selalu ekspresi wajah istri saat melakukan penolakan, tak memiliki hasrat seksual terhadap istrinya, hingga tak memiliki kemampuan membangkitkan libidonya.

Hal ini tak diketahui dan dirasakan oleh istri yang melakukan penolakkan ajakan swami dalam menumpahkan hasrat seksualnya dijalan yang halal, karena dia, para istri tak mengalaminya. Trauma yang mendalam itu memiliki efek yang merusak bagi sebuah tatanan kehidupan berkeluarga,  bila terus berjalan dalam jangka rentang waktu yang panjang.

Kondisioner  lain sebagai dampak trauma swami  pasca mengalami penolakan hasrat sekualnya, swami  cenderung labil hidupnya. Kegairahan menjalani kehidupan cenderung apatis, kehilangan semangat untuk melakukan berbagai aktifitas, bahkan menjadi mahluk yang minder dihadapan lelaki lain yang normal dalam kehidupan seksulanya. Hidupnya menjadi suram, masa depannya seperti terkubur, apalagi untuk menanamkan sebuah cita-cita, sangat jauh dari panggang.

Secara fisik, swami yang mengalami taruma seperti itu, [maaf] “penisnya” nampak menyusut, dan kurang sensitif terhadap rangsangan, kemampuan untuk membangiktan hasrat sekualnya menjadi ambigu, disatu sisi ia, para swami frustasi karena gagal menjadi swami yang ideal dalam kehidupan seksualnya, tatapi disisi lain, ia, para swami masih merasa normal, bahwa ia, masih menginginkan kehidupan seksual yang normal tersebut.

Hal lain yang tak terfikirkan adalah, kerapuhan fisik khususnya dibagian persendian. Persendian menjadi lebih mudah rapuh dirasakan oleh swami  yang mengalami traumatik penolakan seksual istri. Mungkin istilah umumnya, dengul kropos, oleh kebanyakkan oram awam disebutnya seperti itu. Karena kelelahan fisik lebih mudah datang, staminanya menjadi menurun drastis, yang disebabkan akibat dampak dari faktor psikologis yang dialaminya itu.
Mungkin  dampak terburuk lainnya yaitu, wajahnya nampak kusam, dan terkesan lebih tua. Penampakan ini bukan tanpa sebab. Swami yang seksualnya normal, akan merasa rilaks ketika hasrat seksualnya sudah tersalurkan, kondisi rilesk inilah yang berputar menjadi seratus delapan puluh derajat, atau berputar berlawanan. Orang yang rileks nampak wajahnya lebih cerah, sumringah dan tampak lebih mudah dari usianya, tetapi sebaliknya, orang yang trauma, ia jauh dari suasana rileks, sehingga terkesan tegang, lusuh, luyu, dan tak bersahabat dengan lingkungannya, maka wajah swami yang mengalami traumatik penolakkan hasrat seksualnya oleh istri, ia akan nampak lebih tua.

Dan terakhir dampak tarumatik yang paling fatal sekali adalah, kecenderungan berputus asa, ingin mengakhiri hidup lebih cepat dan mungkin saja berkeingin untuk bercerai. Karena ketika kehidupan seksualnya seorang swami sudah mati, perasaan semua seolah menjadi terkubur. Jadi untuk apalagi, ia para swami menjalani kehidupan yang seperti, hidup segan mati tak hendak. Kefrustasian yang paling fatal adalah persaan ingin bunuh diri, atau berdoa agar dicepatkan kematian untuknya, agar tak terlalu lama menjadi kehidupan seperti itu. Bila swami tersebut memiliki kemampuan finansial yang sehat, bukan tidak mungkin guguatan cerai akan dilakukannya.

Ternyata begitu panjang, dan banyak dampak yang dialami swami, ketika sebuah hasrat seksual yang normalnya itu terhambat, tertolak, oelh istri. bukan tidak mungkin ada hal lain yang belum terungkap lebih detail dari paparan ini. Semoga menjadi  bahan renungan bagi para wanita yang belum berswami, para pengantin baru dan lama khususnya para istri. Nasihatnya, lakukanlah hal terbaik untuk swaminya.

Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)

0 komentar:

Posting Komentar

trauma (18++) [jejak9]

| |

Trauma [18++}


M
     endengar, melihat dan merasakan ekspresi seorang Istri dari sebuah penolakan hasrat seksual adalah sebuah malapetaka besar buat seorang Swami. Ketika dorongan  dan hasrat     seksual yang datang secara alamiah itu menjadi terhambat, dan diberhentikan mendadak,    dapatkah membayangkan apa yang dirasakan dan mendalami bagaimana perasaan yang dialami  swami saat kejadian itu?

Kejadian tersebut dapat dilustrasikan,  seperti  ketika seseorang yang sedang berkendaraan, dan  sedang asik menikmati laju jalannya kendaraan, tiba-tiba harus berhenti mendadak, disebabkan oleh adanya tarikan kuat agar kendaraan tersebut berhenti. Besar kemungkinan pengemudi kendaraan tersebut menjadi oleng, tidak stabil tentunya. Itu dampak kecil yang ditimbulkan bila saja pengemudi kendaraan tersebut berusaha untuk melakukan stabilitas kendaraanya. Tetapi bila pengemudi kendaraan tersebut tidak bisa melakukan stabilitas kendaraannya, bukan tidak mungkin, ia bisa terjatuh, terperosok, bahkan bisa menyebabkan sebuah kecelakaan fatal yang menyebabkan kematian.

Begitulah ilustrasi sederhana hal yang dialami oleh seorang swami ketika mengalami penolakkan penyaluran hasrat seksualnya terhadap istri. Pertanyaannya,  kemana lagi ia, para swami itu  harus menyalurkan hasrat seksual tersebut?  Bila swami yang lurus-lurus saja, boleh jadi ia akan berusaha sabar, istiqomah dan mengembalikan semua kepada Allah, seraya berdoa dan berpuasa guna dapat mengendalikan hasrat seksualnya. Pertanyaan selanjutnya, berapa lama ia, para swami harus bertahan dan mempertahankan kehidupan rumah tangga seperti itu?

Betapa banyak penyimpangan yang dilakukan oleh seorang swami yang diam-diam dia menyalurkan hasrat seksualnya dijalan yang haram, berzina dengan wanita yang bukan istrinya, entah dengan selingkuhannya, dengan TTM-annya (TTM=Teman Tapi Mesra), bahkan lebih ekstrim kepada pelacur. Dua kondisi itu adalah hal yang kemungkinan besar terjadi pada para swami yang mengalami kekecewaan terhadap istri akan peristiwa penolakan hasrat seksualnya.

Kedua kondisioner yang dialami swami tersebut,  sebenarnya ada dampak psikologis yang mendalam, pasca mengalami penolakan penyaluran hasrat seksualnya itu. Swami pastinya akan mengalami trauma yang tidak kecil. Mulai dari hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kepercayaan terhadap istri, takut dan terbayang selalu ekspresi wajah istri saat melakukan penolakan, tak memiliki hasrat seksual terhadap istrinya, hingga tak memiliki kemampuan membangkitkan libidonya.

Hal ini tak diketahui dan dirasakan oleh istri yang melakukan penolakkan ajakan swami dalam menumpahkan hasrat seksualnya dijalan yang halal, karena dia, para istri tak mengalaminya. Trauma yang mendalam itu memiliki efek yang merusak bagi sebuah tatanan kehidupan berkeluarga,  bila terus berjalan dalam jangka rentang waktu yang panjang.

Kondisioner  lain sebagai dampak trauma swami  pasca mengalami penolakan hasrat sekualnya, swami  cenderung labil hidupnya. Kegairahan menjalani kehidupan cenderung apatis, kehilangan semangat untuk melakukan berbagai aktifitas, bahkan menjadi mahluk yang minder dihadapan lelaki lain yang normal dalam kehidupan seksulanya. Hidupnya menjadi suram, masa depannya seperti terkubur, apalagi untuk menanamkan sebuah cita-cita, sangat jauh dari panggang.

Secara fisik, swami yang mengalami taruma seperti itu, [maaf] “penisnya” nampak menyusut, dan kurang sensitif terhadap rangsangan, kemampuan untuk membangiktan hasrat sekualnya menjadi ambigu, disatu sisi ia, para swami frustasi karena gagal menjadi swami yang ideal dalam kehidupan seksualnya, tatapi disisi lain, ia, para swami masih merasa normal, bahwa ia, masih menginginkan kehidupan seksual yang normal tersebut.

Hal lain yang tak terfikirkan adalah, kerapuhan fisik khususnya dibagian persendian. Persendian menjadi lebih mudah rapuh dirasakan oleh swami  yang mengalami traumatik penolakan seksual istri. Mungkin istilah umumnya, dengul kropos, oleh kebanyakkan oram awam disebutnya seperti itu. Karena kelelahan fisik lebih mudah datang, staminanya menjadi menurun drastis, yang disebabkan akibat dampak dari faktor psikologis yang dialaminya itu.
Mungkin  dampak terburuk lainnya yaitu, wajahnya nampak kusam, dan terkesan lebih tua. Penampakan ini bukan tanpa sebab. Swami yang seksualnya normal, akan merasa rilaks ketika hasrat seksualnya sudah tersalurkan, kondisi rilesk inilah yang berputar menjadi seratus delapan puluh derajat, atau berputar berlawanan. Orang yang rileks nampak wajahnya lebih cerah, sumringah dan tampak lebih mudah dari usianya, tetapi sebaliknya, orang yang trauma, ia jauh dari suasana rileks, sehingga terkesan tegang, lusuh, luyu, dan tak bersahabat dengan lingkungannya, maka wajah swami yang mengalami traumatik penolakkan hasrat seksualnya oleh istri, ia akan nampak lebih tua.

Dan terakhir dampak tarumatik yang paling fatal sekali adalah, kecenderungan berputus asa, ingin mengakhiri hidup lebih cepat dan mungkin saja berkeingin untuk bercerai. Karena ketika kehidupan seksualnya seorang swami sudah mati, perasaan semua seolah menjadi terkubur. Jadi untuk apalagi, ia para swami menjalani kehidupan yang seperti, hidup segan mati tak hendak. Kefrustasian yang paling fatal adalah persaan ingin bunuh diri, atau berdoa agar dicepatkan kematian untuknya, agar tak terlalu lama menjadi kehidupan seperti itu. Bila swami tersebut memiliki kemampuan finansial yang sehat, bukan tidak mungkin guguatan cerai akan dilakukannya.

Ternyata begitu panjang, dan banyak dampak yang dialami swami, ketika sebuah hasrat seksual yang normalnya itu terhambat, tertolak, oelh istri. bukan tidak mungkin ada hal lain yang belum terungkap lebih detail dari paparan ini. Semoga menjadi  bahan renungan bagi para wanita yang belum berswami, para pengantin baru dan lama khususnya para istri. Nasihatnya, lakukanlah hal terbaik untuk swaminya.

Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)

0 komentar:

Posting Komentar

.