Minggu, 25 Oktober 2015

# pohon kebaikan [jejak 8]

POHON KEBAIKAN

B
ila kita mengamati orang-orang disekeliling kita yang telah lanjut usia. Di Usia lanjut tersebut, seringkali pelakunya baik pria maupun wanita, mengalami kebimbingan dalam menapaki kehidupan. Citra stereotipe begitu melekat, mulai dari sebutan. Sudah tua, tak pantas bekerja kembali. Sudah tua apa yang mau dicari. Sudah tua lebih baik duduk manis bersama cucu dst. Bila sudah seperti ini. Kepala kita pun tiba-tiba jadi gatal dan digaruk tanpa sebab. Lalu apa hubungannya dengan kita yang masih muda, dan apa yang harus disikapi dari kejadian alamiah tersebut. Bukankah tua itu sebuah keniscayaan.

Bila saja kita tak peduli dengan memberi sedikit waktu untuk mereka, maka tak ada yang perlu direpotkan, namun sebaliknya bila kita mau share untuk memberikan curahan pemikiran buat mereka para kaum tua, tentu akan lebih postif, bukankan kita juga pasti akan mengalaminya kelak, tentu akan sangat lebih positif lagi bila luangan waktu untuk memikiran ini dapat menjadi sebuah preparasi untuk menghadapi hari tua kelak.

Dalam hal ini saya mencoba merayu bahwa, kita tak bisa mengabaikan tanpa mengambil tindakan dengan mensikapinya secara positif, karena  bukan tidak mungkin berakibat fatalistik dalam menjalani kehidupannya, bila pola pemikiran kita yang tak mempedulikan kaum tua didengar dan diterima ditelinga mereka.

Dalam membangun budaya berfikir positif, maka kerangka yang menjadi anti klimaks yang cenderung negatif haruslah disingkirkan bila perlu dibuang jauh-jauh.  Guna membuang dan membangun citra stereotipe menjadi citra produktif perlu adanya wawasan untuk meyakinkan itu. Disinilah urgensinya berfikir dan share memikiran pola yang bagaimana agar diusia lanjut tetap optimis, produktif, kreatif dan inovatif, penuh semangat dan bahagia tanpa harus garuk kepala.

Ada sebuah kisah menarik ketika mengamati seorang petani yang sudah tua, yang sedang menanam pohon durian. Bila saja  kita bertanya pada seorang petani tua yang bercocok tanam buah durian tersebut. Untuk apa menanam buah durian diusia yang sudah tua renta ? Bukankah buah durian itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dapat berbuah ? Maka Kita akan mendapatkan jawaban yang menakjubkan. Biasanya petani itu akan menjawab secara sepontan, tanpa harus memikirkan lagi di usia berapa ia kini sedang menanam pohon durian. Boleh jadi Petani itu akan menjawab, bukankan durian  yang kita makan ini, ditanam oleh pendahulu kita yang mungkin orangnya sudah jadi tulang belulang.

Sebuah jawaban yang sangat singkat padat namun sarat akan makna. Inilah Sebuah ilustrasi yang sangat sederhana dan bermakna dalam. Sebuah pembelajaran dari seorang petani tua yang bercocok tanam buah durian. 

Bila kita perhatikan kembali lebih dalam filosofi petani tersebut dalam menanam pohon durian dapat digali sebuah Prinsip hidup layaknya seorang petani. Sejatinya seperti itulah, hendaknya kita tanam dalam menanam pohon kebaikan. Jangan pernah berfikir kita akan menikmati buah pohon kebaikan kita sendiri, tapi fikirkanlah bahwa, kita bisa menikmati buah kebaikan saat ini adalah berasal  pohon kebaikan yang ditanam oleh pendahulu kita yang kini telah berbuah meski beliau telah mendahului kita semua.

Dalam filosofi petani itu banyak prinsip kerja yang patut jadi panutan, pertama adalah, ketika hendak menanam pohon, sang petani biasanya merapikan seluruh arean tanah bercocok tanam. Dihindari segala bentuk tanaman liar yang akan tumbuh disekitar pekarangan atau kebunnya. Begitu pun dalam hal menanam pohon kebaikan, hendaklah dipersiapkan niat yang benar, terhindar dari niatan yang bercabang yang bisa mengugurkan kebaikan tersebut.

Setelah tanah steril dari bentuk tanaman liar, petani itu mulai menuai benih pohon buah pilihan yang terbaik yang hendak ditanam. Begitu pula kita yang hendak menanam pohon kebaikan, setelah niat dibersihkan dari unsur, ria, pamer, ujub, sum’ah dsj, maka mulailah menanam benih kebaikkan itu. Sebuah benih kebaikan yang terbaik, mulai dari ucapan yang baik, senyum yang ramah, bicara tanpa dusta, dan selalu menghormati dan menghargai setiap orang, berjalan dengan santun dan segala lingkup kehidupan selalu diawali dengan segala kebaikan kepada segenap manusia. Karena menuai pohon kebaikan bila diawali dengan yang baik dan halal maka akan berkembang menjadi pohon kebaikan.

Setelah penatani menuai benih, ia akan bersabar menunggu benihnya itu menampakan kuncup, cikal bakal pohon, setiap hari dirawatnya kuncup bakal pohon tersebut, disirami dan tak lupa diberi pupuk serta pestisida anti hama, agar kuncup itu menjadi pohon yang kokoh, dan tidak mati sebelum berbuah.

Pohon kebaikkan pun demikian, benih awal kebaikkan yang telah ditebar, maka harus dirawatnya dengan keikhlasan, dan keistiqomahan yang intens, jangan sampai terpeleset dari niat semula menanam pohon kebaikan. Sabar, setia dan penuh kejelian melihat segala tindak tanduknya, bila saja menyimpang apalagi terusak oleh faktor luar seperti godaan setan dari golongan manusia dan jin. Istiqomh selalu menanti pohon kebaikan itu tumbuh menjadi pohon, dan tidak membiarkan virus-virus maksiat itu sedikit demi sedikit mengerogoti pohon kebaikan yang dapat mematikan sebelum pohon kebaikan tersebut sebelum  berbuah.

Ketika kuncup itu menjadi pohon, sang petani juga dengan telitih merawat dengan menyiraminya, memberi pupuk, mencabut segala jenis benalu yang ada dipohon tersebut, bahkan pohon itu dipagari agar terhindar dari gangguan tangan-tangan iseng manusia juga binatang liar liar lainnya yang bisa merusak pohon tersebut.

Begitupun pohon kebaikan yang telah tumbuh disanubari kita, hendaknya terjaga dari gangguan-gangguan  yang dapat membelokkan dan mematikan pohon kebaikan yang sedang tumbuh. Gangguan tersebut bisa datang dari dalam diri maupun dari luar. Biasanya ujian berupa gosip/gibah, fitnah, makian dan umpatan lainnya yang dapat membunuh karakter, haruslah di kembalikan kepada asas dasar dalam menjaga pohon kebaikan tersebut.

Setelah cukup umur dan tiba musimnya, maka pohon itu akan berbuah. Maka jadilah petani itu merawat dan manjaga pohon yang baik. Meski boleh jadi petani itu tidak menikmati buahnya karena telah dipanggil Allah kebih dahulu, namun bekas perbuatannya tidaklah sia-sia. Orang akan mengenang kebaikan yang dia nikmati dari petani pohon tersebut, maka dengan sendirinya mengalir perkataan-perkataan yang baik baik untuk sang petani pohon tersebut. Allah mengabadikan perkataan-perkatan baik itu diumpamakan seperti pohon seperti dalam firmannya, di surat Ibrahim (14) : 24-26.

14:24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
14:25. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
14:26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.

Ketika pohon kebaikan itu telah berbuah, maka kita akan menikmati kebaikan-kebaikan yang terus menglir dari kalimat mereka yang sedang menikmati buah pohon kebaikan yang telah kita tanam, dan inilah panen raya, dimana kita bisa menuai buah kebaikan itu yang kelak akan mengalir terus sebagi sedekah jariah.

Jangan tunda lagi untuk selalu memberi support pada para kaum tua, bahwa berbuat dengan menanam kebaikan apa saja, kelak akan menikmati hasilnya, meskipun tidak secara langsung kita menikmati buah yang sudah dituai oleh banyak orang dalam berbuat kebajikan. Bila saja prinsip petani pohon duren ini menjadi sebuah pemahaman dan dapat dijalankan, tentu kaum tua tak lagi takut menjalani hari tuannya, tetap optimis.




0 komentar:

Posting Komentar

# pohon kebaikan [jejak 8]

| |

POHON KEBAIKAN

B
ila kita mengamati orang-orang disekeliling kita yang telah lanjut usia. Di Usia lanjut tersebut, seringkali pelakunya baik pria maupun wanita, mengalami kebimbingan dalam menapaki kehidupan. Citra stereotipe begitu melekat, mulai dari sebutan. Sudah tua, tak pantas bekerja kembali. Sudah tua apa yang mau dicari. Sudah tua lebih baik duduk manis bersama cucu dst. Bila sudah seperti ini. Kepala kita pun tiba-tiba jadi gatal dan digaruk tanpa sebab. Lalu apa hubungannya dengan kita yang masih muda, dan apa yang harus disikapi dari kejadian alamiah tersebut. Bukankah tua itu sebuah keniscayaan.

Bila saja kita tak peduli dengan memberi sedikit waktu untuk mereka, maka tak ada yang perlu direpotkan, namun sebaliknya bila kita mau share untuk memberikan curahan pemikiran buat mereka para kaum tua, tentu akan lebih postif, bukankan kita juga pasti akan mengalaminya kelak, tentu akan sangat lebih positif lagi bila luangan waktu untuk memikiran ini dapat menjadi sebuah preparasi untuk menghadapi hari tua kelak.

Dalam hal ini saya mencoba merayu bahwa, kita tak bisa mengabaikan tanpa mengambil tindakan dengan mensikapinya secara positif, karena  bukan tidak mungkin berakibat fatalistik dalam menjalani kehidupannya, bila pola pemikiran kita yang tak mempedulikan kaum tua didengar dan diterima ditelinga mereka.

Dalam membangun budaya berfikir positif, maka kerangka yang menjadi anti klimaks yang cenderung negatif haruslah disingkirkan bila perlu dibuang jauh-jauh.  Guna membuang dan membangun citra stereotipe menjadi citra produktif perlu adanya wawasan untuk meyakinkan itu. Disinilah urgensinya berfikir dan share memikiran pola yang bagaimana agar diusia lanjut tetap optimis, produktif, kreatif dan inovatif, penuh semangat dan bahagia tanpa harus garuk kepala.

Ada sebuah kisah menarik ketika mengamati seorang petani yang sudah tua, yang sedang menanam pohon durian. Bila saja  kita bertanya pada seorang petani tua yang bercocok tanam buah durian tersebut. Untuk apa menanam buah durian diusia yang sudah tua renta ? Bukankah buah durian itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dapat berbuah ? Maka Kita akan mendapatkan jawaban yang menakjubkan. Biasanya petani itu akan menjawab secara sepontan, tanpa harus memikirkan lagi di usia berapa ia kini sedang menanam pohon durian. Boleh jadi Petani itu akan menjawab, bukankan durian  yang kita makan ini, ditanam oleh pendahulu kita yang mungkin orangnya sudah jadi tulang belulang.

Sebuah jawaban yang sangat singkat padat namun sarat akan makna. Inilah Sebuah ilustrasi yang sangat sederhana dan bermakna dalam. Sebuah pembelajaran dari seorang petani tua yang bercocok tanam buah durian. 

Bila kita perhatikan kembali lebih dalam filosofi petani tersebut dalam menanam pohon durian dapat digali sebuah Prinsip hidup layaknya seorang petani. Sejatinya seperti itulah, hendaknya kita tanam dalam menanam pohon kebaikan. Jangan pernah berfikir kita akan menikmati buah pohon kebaikan kita sendiri, tapi fikirkanlah bahwa, kita bisa menikmati buah kebaikan saat ini adalah berasal  pohon kebaikan yang ditanam oleh pendahulu kita yang kini telah berbuah meski beliau telah mendahului kita semua.

Dalam filosofi petani itu banyak prinsip kerja yang patut jadi panutan, pertama adalah, ketika hendak menanam pohon, sang petani biasanya merapikan seluruh arean tanah bercocok tanam. Dihindari segala bentuk tanaman liar yang akan tumbuh disekitar pekarangan atau kebunnya. Begitu pun dalam hal menanam pohon kebaikan, hendaklah dipersiapkan niat yang benar, terhindar dari niatan yang bercabang yang bisa mengugurkan kebaikan tersebut.

Setelah tanah steril dari bentuk tanaman liar, petani itu mulai menuai benih pohon buah pilihan yang terbaik yang hendak ditanam. Begitu pula kita yang hendak menanam pohon kebaikan, setelah niat dibersihkan dari unsur, ria, pamer, ujub, sum’ah dsj, maka mulailah menanam benih kebaikkan itu. Sebuah benih kebaikan yang terbaik, mulai dari ucapan yang baik, senyum yang ramah, bicara tanpa dusta, dan selalu menghormati dan menghargai setiap orang, berjalan dengan santun dan segala lingkup kehidupan selalu diawali dengan segala kebaikan kepada segenap manusia. Karena menuai pohon kebaikan bila diawali dengan yang baik dan halal maka akan berkembang menjadi pohon kebaikan.

Setelah penatani menuai benih, ia akan bersabar menunggu benihnya itu menampakan kuncup, cikal bakal pohon, setiap hari dirawatnya kuncup bakal pohon tersebut, disirami dan tak lupa diberi pupuk serta pestisida anti hama, agar kuncup itu menjadi pohon yang kokoh, dan tidak mati sebelum berbuah.

Pohon kebaikkan pun demikian, benih awal kebaikkan yang telah ditebar, maka harus dirawatnya dengan keikhlasan, dan keistiqomahan yang intens, jangan sampai terpeleset dari niat semula menanam pohon kebaikan. Sabar, setia dan penuh kejelian melihat segala tindak tanduknya, bila saja menyimpang apalagi terusak oleh faktor luar seperti godaan setan dari golongan manusia dan jin. Istiqomh selalu menanti pohon kebaikan itu tumbuh menjadi pohon, dan tidak membiarkan virus-virus maksiat itu sedikit demi sedikit mengerogoti pohon kebaikan yang dapat mematikan sebelum pohon kebaikan tersebut sebelum  berbuah.

Ketika kuncup itu menjadi pohon, sang petani juga dengan telitih merawat dengan menyiraminya, memberi pupuk, mencabut segala jenis benalu yang ada dipohon tersebut, bahkan pohon itu dipagari agar terhindar dari gangguan tangan-tangan iseng manusia juga binatang liar liar lainnya yang bisa merusak pohon tersebut.

Begitupun pohon kebaikan yang telah tumbuh disanubari kita, hendaknya terjaga dari gangguan-gangguan  yang dapat membelokkan dan mematikan pohon kebaikan yang sedang tumbuh. Gangguan tersebut bisa datang dari dalam diri maupun dari luar. Biasanya ujian berupa gosip/gibah, fitnah, makian dan umpatan lainnya yang dapat membunuh karakter, haruslah di kembalikan kepada asas dasar dalam menjaga pohon kebaikan tersebut.

Setelah cukup umur dan tiba musimnya, maka pohon itu akan berbuah. Maka jadilah petani itu merawat dan manjaga pohon yang baik. Meski boleh jadi petani itu tidak menikmati buahnya karena telah dipanggil Allah kebih dahulu, namun bekas perbuatannya tidaklah sia-sia. Orang akan mengenang kebaikan yang dia nikmati dari petani pohon tersebut, maka dengan sendirinya mengalir perkataan-perkataan yang baik baik untuk sang petani pohon tersebut. Allah mengabadikan perkataan-perkatan baik itu diumpamakan seperti pohon seperti dalam firmannya, di surat Ibrahim (14) : 24-26.

14:24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
14:25. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
14:26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.

Ketika pohon kebaikan itu telah berbuah, maka kita akan menikmati kebaikan-kebaikan yang terus menglir dari kalimat mereka yang sedang menikmati buah pohon kebaikan yang telah kita tanam, dan inilah panen raya, dimana kita bisa menuai buah kebaikan itu yang kelak akan mengalir terus sebagi sedekah jariah.

Jangan tunda lagi untuk selalu memberi support pada para kaum tua, bahwa berbuat dengan menanam kebaikan apa saja, kelak akan menikmati hasilnya, meskipun tidak secara langsung kita menikmati buah yang sudah dituai oleh banyak orang dalam berbuat kebajikan. Bila saja prinsip petani pohon duren ini menjadi sebuah pemahaman dan dapat dijalankan, tentu kaum tua tak lagi takut menjalani hari tuannya, tetap optimis.




0 komentar:

Posting Komentar

.