Minggu, 18 Oktober 2015

MENJADI bukan MENCARI


"Zaman sekarang sulit mencari orang baik, jujur, dan amanah.
Ada baiknya tak perlu mencari, bila bisa menjadi.”



K
etika permasalah hidup tumpah ruah dan membuat kekusutan dalam alam fikiran, seolah semua menjadi semerawut, kacau, dan tak beraturan. Maka fikiran saat itu mengatakan, sulit rasanya mengurai dari mana harus diurai, apalagi mengambil sebuah kesimpulan yang benar. Kesulitan itu semangkin menjadi-jadi manakala emosi turut serta didalamnya. Terkadang tindakan irasional bisa saja terjadi, dan boleh jadi luapan emosi yang dibarengi dengan tuntutan yang disalah sasari pada objek yang ironinya pula berujung dengan menimbulkan  permasalah baru. Sungguh dunia saat itu menjadi sangat kusut bila sudah terjadi seperti itu.

Mungkin sudah hukum alam, bahwa waktu bisa mengurai kekusutan tersebut. Sekalipun tak pernah melakukan aksi untuk mengurainya. Nampaknya seperti sebuah keajaiban dari Allah saja, atau Allah telah turun tangan mengurai kekusutan tersebut, benarkah itu. Dalam hal ini tidak sedikit orang membenarkan pada proses itu.

Bagi sebagian orang lagi, tentu tak sependapat dengan konsep alamiah tersebut. Karena fungsi akal yang telah diberikan Allah menjadi mandul atau  tidak berfungsi. Menyerahkan permasalah pada Allah sudah merupakan sikap yang benar, tapi bila menyerahkan saja tanpa mau mengolahnya adalah kepasrahan yang tak berlogika, bahkan sebaliknya cermin sikap apatis, pesimis, malas berfikir, dan bodoh.

Bila fungsi akal dioptimalkan, maka akan terbuka seribu satu jalan keluar dari kekusutan pemikiran yang sedang melanda. Sekusut apapun keadaanya, tetap permaslahan itu masih bisa diuarai. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak bisa. Prinsip inilah yang harus dikedepankan, sebuah sikap optimistik dan positif think  dalam menghadapi persolaan kehidupan yang kusut.

Sedang tuntutan adalah konsekwensi logis, karena tuntutan esensinya  adalah cita-cita atau keinginan yang diinginkan dibalik peristiwa kekusutan permasalahan hidup tersebut. Permasalahnya adalah kapan waktu yang  tepat memutuskan sebuah tuntutan, apakah pada saat permasalah tersebut sedang meradang. Kemudian objek yang dituntut itu apakah ditujukan kepada orang lain, bila salah sasaran dalam menentukan objek tuntutan, bukankan itu pertanda sikap egoistik dan fatalistik cenderung emosional.

Kepekaan akan pemilihan waktu dan objek sasaran dalam menuntut imbalan atas kerugian dari sebuah kekusutan hidup itu menjadi sangat penting untuk dipertegas. Karena kekusutan hidup itu boleh jadi datang dari diri sendiri, dan pihak lain hanya menjadi objek penderita dari sasaran tembak pelampiasan tersebut.

Dramatisasi kehidupan seperti ini adalah warna yang paling dominan dalam kehidupan keseharian, kita mudah melihat ada objek yang menjadi sasaran tembak dari sebuah amarah, dan tuntuan atas perubahan itu harus terwujud secepat mungkin. Apa iya kondisi ini semua dibenarkan. Pertanyaan besar itulah yang menjadi kunci jawaban atas kesalahan persepsi yang selama ini menjadi dominan dimasyarakat.

Jika saja tuntutan itu dibalik, ditujukan kepada diri sendiri  tentulah tidak menjadi bumerang, dan menimbulkan permasalahan baru, juga mudah sekali mengurai kekusutan hidup tanpa harus menyerahkan pada waktu. Berani menunjuk diri inilah solusi terbaik, dengan kalimat sederhana, bahwa mencari kambing hitam itu lebih sulit dari pada menjadi kambing putih untuk sebuah solusi.

Maka menuntut orang menjadi seperti yang kita inginkan adalah sebuah keniscayaan yang berujung pada kefrustasian, tetapi menunjuk diri untuk menjadi seperti yang diinginkan adalah lebih baik, lebih mulia dari segalanya, dan  tentunya tak akan ada kekusutan hidup itu, mari manjadi bukan mencari.


0 komentar:

Posting Komentar

MENJADI bukan MENCARI

| |


"Zaman sekarang sulit mencari orang baik, jujur, dan amanah.
Ada baiknya tak perlu mencari, bila bisa menjadi.”



K
etika permasalah hidup tumpah ruah dan membuat kekusutan dalam alam fikiran, seolah semua menjadi semerawut, kacau, dan tak beraturan. Maka fikiran saat itu mengatakan, sulit rasanya mengurai dari mana harus diurai, apalagi mengambil sebuah kesimpulan yang benar. Kesulitan itu semangkin menjadi-jadi manakala emosi turut serta didalamnya. Terkadang tindakan irasional bisa saja terjadi, dan boleh jadi luapan emosi yang dibarengi dengan tuntutan yang disalah sasari pada objek yang ironinya pula berujung dengan menimbulkan  permasalah baru. Sungguh dunia saat itu menjadi sangat kusut bila sudah terjadi seperti itu.

Mungkin sudah hukum alam, bahwa waktu bisa mengurai kekusutan tersebut. Sekalipun tak pernah melakukan aksi untuk mengurainya. Nampaknya seperti sebuah keajaiban dari Allah saja, atau Allah telah turun tangan mengurai kekusutan tersebut, benarkah itu. Dalam hal ini tidak sedikit orang membenarkan pada proses itu.

Bagi sebagian orang lagi, tentu tak sependapat dengan konsep alamiah tersebut. Karena fungsi akal yang telah diberikan Allah menjadi mandul atau  tidak berfungsi. Menyerahkan permasalah pada Allah sudah merupakan sikap yang benar, tapi bila menyerahkan saja tanpa mau mengolahnya adalah kepasrahan yang tak berlogika, bahkan sebaliknya cermin sikap apatis, pesimis, malas berfikir, dan bodoh.

Bila fungsi akal dioptimalkan, maka akan terbuka seribu satu jalan keluar dari kekusutan pemikiran yang sedang melanda. Sekusut apapun keadaanya, tetap permaslahan itu masih bisa diuarai. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak bisa. Prinsip inilah yang harus dikedepankan, sebuah sikap optimistik dan positif think  dalam menghadapi persolaan kehidupan yang kusut.

Sedang tuntutan adalah konsekwensi logis, karena tuntutan esensinya  adalah cita-cita atau keinginan yang diinginkan dibalik peristiwa kekusutan permasalahan hidup tersebut. Permasalahnya adalah kapan waktu yang  tepat memutuskan sebuah tuntutan, apakah pada saat permasalah tersebut sedang meradang. Kemudian objek yang dituntut itu apakah ditujukan kepada orang lain, bila salah sasaran dalam menentukan objek tuntutan, bukankan itu pertanda sikap egoistik dan fatalistik cenderung emosional.

Kepekaan akan pemilihan waktu dan objek sasaran dalam menuntut imbalan atas kerugian dari sebuah kekusutan hidup itu menjadi sangat penting untuk dipertegas. Karena kekusutan hidup itu boleh jadi datang dari diri sendiri, dan pihak lain hanya menjadi objek penderita dari sasaran tembak pelampiasan tersebut.

Dramatisasi kehidupan seperti ini adalah warna yang paling dominan dalam kehidupan keseharian, kita mudah melihat ada objek yang menjadi sasaran tembak dari sebuah amarah, dan tuntuan atas perubahan itu harus terwujud secepat mungkin. Apa iya kondisi ini semua dibenarkan. Pertanyaan besar itulah yang menjadi kunci jawaban atas kesalahan persepsi yang selama ini menjadi dominan dimasyarakat.

Jika saja tuntutan itu dibalik, ditujukan kepada diri sendiri  tentulah tidak menjadi bumerang, dan menimbulkan permasalahan baru, juga mudah sekali mengurai kekusutan hidup tanpa harus menyerahkan pada waktu. Berani menunjuk diri inilah solusi terbaik, dengan kalimat sederhana, bahwa mencari kambing hitam itu lebih sulit dari pada menjadi kambing putih untuk sebuah solusi.

Maka menuntut orang menjadi seperti yang kita inginkan adalah sebuah keniscayaan yang berujung pada kefrustasian, tetapi menunjuk diri untuk menjadi seperti yang diinginkan adalah lebih baik, lebih mulia dari segalanya, dan  tentunya tak akan ada kekusutan hidup itu, mari manjadi bukan mencari.


0 komentar:

Posting Komentar

.