POHON
KEBAIKAN
B
|
ila kita mengamati orang-orang
disekeliling kita yang telah lanjut usia. Di Usia lanjut tersebut, seringkali
pelakunya baik pria maupun wanita, mengalami kebimbingan dalam menapaki
kehidupan. Citra stereotipe begitu melekat, mulai dari sebutan. Sudah tua, tak
pantas bekerja kembali. Sudah tua apa yang mau dicari. Sudah tua lebih baik
duduk manis bersama cucu dst. Bila sudah seperti ini. Kepala kita pun tiba-tiba
jadi gatal dan digaruk tanpa sebab. Lalu apa hubungannya dengan kita yang masih
muda, dan apa yang harus disikapi dari kejadian alamiah tersebut. Bukankah tua
itu sebuah keniscayaan.
Bila saja kita tak peduli dengan memberi
sedikit waktu untuk mereka, maka tak ada yang perlu direpotkan, namun
sebaliknya bila kita mau share untuk memberikan curahan pemikiran buat mereka
para kaum tua, tentu akan lebih postif, bukankan kita juga pasti akan
mengalaminya kelak, tentu akan sangat lebih positif lagi bila luangan waktu
untuk memikiran ini dapat menjadi sebuah preparasi untuk menghadapi hari tua
kelak.
Dalam hal ini saya mencoba
merayu bahwa, kita tak bisa mengabaikan tanpa mengambil tindakan dengan mensikapinya
secara positif, karena bukan tidak
mungkin berakibat fatalistik dalam menjalani kehidupannya, bila pola pemikiran
kita yang tak mempedulikan kaum tua didengar dan diterima ditelinga mereka.
Dalam membangun budaya
berfikir positif, maka kerangka yang menjadi anti klimaks yang cenderung
negatif haruslah disingkirkan bila perlu dibuang jauh-jauh. Guna membuang dan membangun citra stereotipe
menjadi citra produktif perlu adanya wawasan untuk meyakinkan itu. Disinilah
urgensinya berfikir dan share memikiran pola yang bagaimana agar diusia lanjut
tetap optimis, produktif, kreatif dan inovatif, penuh semangat dan bahagia
tanpa harus garuk kepala.
Ada sebuah kisah menarik
ketika mengamati seorang petani yang sudah tua, yang sedang menanam pohon
durian. Bila saja kita bertanya pada
seorang petani tua yang bercocok tanam buah durian tersebut. Untuk apa menanam
buah durian diusia yang sudah tua renta ? Bukankah buah durian itu membutuhkan
waktu puluhan tahun untuk dapat berbuah ? Maka Kita akan mendapatkan jawaban yang
menakjubkan. Biasanya petani itu akan menjawab secara sepontan, tanpa harus
memikirkan lagi di usia berapa ia kini sedang menanam pohon durian. Boleh jadi Petani
itu akan menjawab, bukankan durian yang
kita makan ini, ditanam oleh pendahulu kita yang mungkin orangnya sudah jadi
tulang belulang.
Sebuah jawaban yang sangat
singkat padat namun sarat akan makna. Inilah Sebuah ilustrasi yang sangat
sederhana dan bermakna dalam. Sebuah pembelajaran dari seorang petani tua yang
bercocok tanam buah durian.
Bila kita perhatikan kembali lebih dalam filosofi
petani tersebut dalam menanam pohon durian dapat digali sebuah Prinsip hidup layaknya
seorang petani. Sejatinya seperti itulah, hendaknya kita tanam dalam menanam
pohon kebaikan. Jangan pernah berfikir kita akan menikmati buah pohon kebaikan
kita sendiri, tapi fikirkanlah bahwa, kita bisa menikmati buah kebaikan saat
ini adalah berasal pohon kebaikan yang
ditanam oleh pendahulu kita yang kini telah berbuah meski beliau telah
mendahului kita semua.
Dalam filosofi petani itu
banyak prinsip kerja yang patut jadi panutan, pertama adalah, ketika hendak
menanam pohon, sang petani biasanya merapikan seluruh arean tanah bercocok
tanam. Dihindari segala bentuk tanaman liar yang akan tumbuh disekitar
pekarangan atau kebunnya. Begitu pun dalam hal menanam pohon kebaikan,
hendaklah dipersiapkan niat yang benar, terhindar dari niatan yang bercabang
yang bisa mengugurkan kebaikan tersebut.
Setelah tanah steril dari
bentuk tanaman liar, petani itu mulai menuai benih pohon buah pilihan yang
terbaik yang hendak ditanam. Begitu pula kita yang hendak menanam pohon
kebaikan, setelah niat dibersihkan dari unsur, ria, pamer, ujub, sum’ah dsj,
maka mulailah menanam benih kebaikkan itu. Sebuah benih kebaikan yang terbaik,
mulai dari ucapan yang baik, senyum yang ramah, bicara tanpa dusta, dan selalu
menghormati dan menghargai setiap orang, berjalan dengan santun dan segala
lingkup kehidupan selalu diawali dengan segala kebaikan kepada segenap manusia.
Karena menuai pohon kebaikan bila diawali dengan yang baik dan halal maka akan
berkembang menjadi pohon kebaikan.
Setelah penatani menuai benih,
ia akan bersabar menunggu benihnya itu menampakan kuncup, cikal bakal pohon,
setiap hari dirawatnya kuncup bakal pohon tersebut, disirami dan tak lupa
diberi pupuk serta pestisida anti hama, agar kuncup itu menjadi pohon yang
kokoh, dan tidak mati sebelum berbuah.
Pohon kebaikkan pun demikian,
benih awal kebaikkan yang telah ditebar, maka harus dirawatnya dengan
keikhlasan, dan keistiqomahan yang intens, jangan sampai terpeleset dari niat
semula menanam pohon kebaikan. Sabar, setia dan penuh kejelian melihat segala
tindak tanduknya, bila saja menyimpang apalagi terusak oleh faktor luar seperti
godaan setan dari golongan manusia dan jin. Istiqomh selalu menanti pohon
kebaikan itu tumbuh menjadi pohon, dan tidak membiarkan virus-virus maksiat itu
sedikit demi sedikit mengerogoti pohon kebaikan yang dapat mematikan sebelum
pohon kebaikan tersebut sebelum berbuah.
Ketika kuncup itu menjadi
pohon, sang petani juga dengan telitih merawat dengan menyiraminya, memberi
pupuk, mencabut segala jenis benalu yang ada dipohon tersebut, bahkan pohon itu
dipagari agar terhindar dari gangguan tangan-tangan iseng manusia juga binatang
liar liar lainnya yang bisa merusak pohon tersebut.
Begitupun pohon kebaikan yang
telah tumbuh disanubari kita, hendaknya terjaga dari gangguan-gangguan yang dapat membelokkan dan mematikan pohon
kebaikan yang sedang tumbuh. Gangguan tersebut bisa datang dari dalam diri
maupun dari luar. Biasanya ujian berupa gosip/gibah, fitnah, makian dan umpatan
lainnya yang dapat membunuh karakter, haruslah di kembalikan kepada asas dasar
dalam menjaga pohon kebaikan tersebut.
Setelah cukup umur dan
tiba musimnya, maka pohon itu akan berbuah. Maka jadilah petani itu merawat dan
manjaga pohon yang baik. Meski boleh jadi petani itu tidak menikmati buahnya
karena telah dipanggil Allah kebih dahulu, namun bekas perbuatannya tidaklah
sia-sia. Orang akan mengenang kebaikan yang dia nikmati dari petani pohon
tersebut, maka dengan sendirinya mengalir perkataan-perkataan yang baik baik
untuk sang petani pohon tersebut. Allah mengabadikan perkataan-perkatan baik
itu diumpamakan seperti pohon seperti dalam firmannya, di surat Ibrahim (14) :
24-26.
14:24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
14:25. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat.
14:26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon
yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak
dapat tetap (tegak) sedikit pun.
Ketika pohon kebaikan itu telah berbuah, maka kita akan
menikmati kebaikan-kebaikan yang terus menglir dari kalimat mereka yang sedang
menikmati buah pohon kebaikan yang telah kita tanam, dan inilah panen raya,
dimana kita bisa menuai buah kebaikan itu yang kelak akan mengalir terus sebagi
sedekah jariah.
Jangan tunda lagi untuk selalu memberi support pada para
kaum tua, bahwa berbuat dengan menanam kebaikan apa saja, kelak akan menikmati
hasilnya, meskipun tidak secara langsung kita menikmati buah yang sudah dituai
oleh banyak orang dalam berbuat kebajikan. Bila saja prinsip petani pohon duren
ini menjadi sebuah pemahaman dan dapat dijalankan, tentu kaum tua tak lagi
takut menjalani hari tuannya, tetap optimis.
0 komentar:
Posting Komentar