"Zaman sekarang sulit
mencari orang baik, jujur, dan amanah.
Ada baiknya tak
perlu mencari, bila bisa menjadi.”
K
|
etika permasalah hidup tumpah
ruah dan membuat kekusutan dalam alam fikiran, seolah semua menjadi semerawut, kacau,
dan tak beraturan. Maka fikiran saat itu mengatakan, sulit rasanya mengurai dari
mana harus diurai, apalagi mengambil sebuah kesimpulan yang benar. Kesulitan
itu semangkin menjadi-jadi manakala emosi turut serta didalamnya. Terkadang
tindakan irasional bisa saja terjadi, dan boleh jadi luapan emosi yang
dibarengi dengan tuntutan yang disalah sasari pada objek yang ironinya pula berujung dengan menimbulkan permasalah baru. Sungguh dunia saat itu menjadi sangat kusut bila sudah terjadi seperti itu.
Mungkin sudah hukum alam, bahwa
waktu bisa mengurai kekusutan tersebut. Sekalipun tak pernah melakukan aksi
untuk mengurainya. Nampaknya seperti sebuah keajaiban dari Allah saja, atau Allah
telah turun tangan mengurai kekusutan tersebut, benarkah itu. Dalam hal ini
tidak sedikit orang membenarkan pada proses itu.
Bagi sebagian orang lagi, tentu
tak sependapat dengan konsep alamiah tersebut. Karena fungsi akal yang telah
diberikan Allah menjadi mandul atau tidak berfungsi. Menyerahkan permasalah pada
Allah sudah merupakan sikap yang benar, tapi bila menyerahkan saja tanpa mau
mengolahnya adalah kepasrahan yang tak berlogika, bahkan sebaliknya cermin
sikap apatis, pesimis, malas berfikir, dan bodoh.
Bila fungsi akal dioptimalkan,
maka akan terbuka seribu satu jalan keluar dari kekusutan pemikiran yang sedang
melanda. Sekusut apapun keadaanya, tetap permaslahan itu masih bisa diuarai.
Sulit memang tetapi bukan berarti tidak bisa. Prinsip inilah yang harus
dikedepankan, sebuah sikap optimistik dan positif think dalam menghadapi persolaan kehidupan yang
kusut.
Sedang tuntutan adalah
konsekwensi logis, karena tuntutan esensinya adalah cita-cita atau keinginan yang
diinginkan dibalik peristiwa kekusutan permasalahan hidup tersebut.
Permasalahnya adalah kapan waktu yang
tepat memutuskan sebuah tuntutan, apakah pada saat permasalah tersebut
sedang meradang. Kemudian objek yang dituntut itu apakah ditujukan kepada orang
lain, bila salah sasaran dalam menentukan objek tuntutan, bukankan itu pertanda
sikap egoistik dan fatalistik cenderung emosional.
Kepekaan akan pemilihan waktu dan
objek sasaran dalam menuntut imbalan atas kerugian dari sebuah kekusutan hidup
itu menjadi sangat penting untuk dipertegas. Karena kekusutan hidup itu boleh
jadi datang dari diri sendiri, dan pihak lain hanya menjadi objek penderita
dari sasaran tembak pelampiasan tersebut.
Dramatisasi kehidupan seperti ini
adalah warna yang paling dominan dalam kehidupan keseharian, kita mudah melihat
ada objek yang menjadi sasaran tembak dari sebuah amarah, dan tuntuan atas perubahan
itu harus terwujud secepat mungkin. Apa iya kondisi ini semua dibenarkan.
Pertanyaan besar itulah yang menjadi kunci jawaban atas kesalahan persepsi yang
selama ini menjadi dominan dimasyarakat.
Jika saja tuntutan itu dibalik, ditujukan
kepada diri sendiri tentulah tidak
menjadi bumerang, dan menimbulkan permasalahan baru, juga mudah sekali mengurai
kekusutan hidup tanpa harus menyerahkan pada waktu. Berani menunjuk diri inilah
solusi terbaik, dengan kalimat sederhana, bahwa mencari kambing hitam itu lebih
sulit dari pada menjadi kambing putih untuk sebuah solusi.
Maka menuntut orang menjadi
seperti yang kita inginkan adalah sebuah keniscayaan yang berujung pada
kefrustasian, tetapi menunjuk diri untuk menjadi seperti yang diinginkan adalah
lebih baik, lebih mulia dari segalanya, dan tentunya tak akan ada kekusutan hidup itu,
mari manjadi bukan mencari.
0 komentar:
Posting Komentar