Trauma
[18++}
M
|
endengar, melihat dan
merasakan ekspresi seorang Istri dari sebuah penolakan hasrat seksual adalah
sebuah malapetaka besar buat seorang Swami. Ketika dorongan dan hasrat seksual yang datang secara alamiah
itu menjadi terhambat, dan diberhentikan mendadak, dapatkah membayangkan apa yang dirasakan dan mendalami
bagaimana perasaan yang dialami swami
saat kejadian itu?
Kejadian tersebut dapat
dilustrasikan, seperti ketika seseorang yang sedang berkendaraan, dan
sedang asik menikmati laju jalannya
kendaraan, tiba-tiba harus berhenti mendadak, disebabkan oleh adanya tarikan kuat
agar kendaraan tersebut berhenti. Besar kemungkinan pengemudi kendaraan
tersebut menjadi oleng, tidak stabil tentunya. Itu dampak kecil yang
ditimbulkan bila saja pengemudi kendaraan tersebut berusaha untuk melakukan stabilitas
kendaraanya. Tetapi bila pengemudi kendaraan tersebut tidak bisa melakukan
stabilitas kendaraannya, bukan tidak mungkin, ia bisa terjatuh, terperosok,
bahkan bisa menyebabkan sebuah kecelakaan fatal yang menyebabkan kematian.
Begitulah ilustrasi sederhana
hal yang dialami oleh seorang swami ketika mengalami penolakkan penyaluran
hasrat seksualnya terhadap istri. Pertanyaannya, kemana lagi ia, para swami itu harus menyalurkan hasrat seksual tersebut? Bila swami yang lurus-lurus saja, boleh jadi
ia akan berusaha sabar, istiqomah dan mengembalikan semua kepada Allah, seraya
berdoa dan berpuasa guna dapat mengendalikan hasrat seksualnya. Pertanyaan selanjutnya,
berapa lama ia, para swami harus bertahan dan mempertahankan kehidupan rumah
tangga seperti itu?
Betapa banyak penyimpangan yang
dilakukan oleh seorang swami yang diam-diam dia menyalurkan hasrat seksualnya
dijalan yang haram, berzina dengan wanita yang bukan istrinya, entah dengan
selingkuhannya, dengan TTM-annya (TTM=Teman Tapi Mesra), bahkan lebih ekstrim
kepada pelacur. Dua kondisi itu adalah hal yang kemungkinan besar terjadi pada
para swami yang mengalami kekecewaan terhadap istri akan peristiwa penolakan
hasrat seksualnya.
Kedua kondisioner yang dialami
swami tersebut, sebenarnya ada dampak
psikologis yang mendalam, pasca mengalami penolakan penyaluran hasrat
seksualnya itu. Swami pastinya akan mengalami trauma yang tidak kecil. Mulai dari
hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kepercayaan terhadap istri, takut dan terbayang
selalu ekspresi wajah istri saat melakukan penolakan, tak memiliki hasrat
seksual terhadap istrinya, hingga tak memiliki kemampuan membangkitkan
libidonya.
Hal ini tak diketahui dan
dirasakan oleh istri yang melakukan penolakkan ajakan swami dalam menumpahkan
hasrat seksualnya dijalan yang halal, karena dia, para istri tak mengalaminya. Trauma
yang mendalam itu memiliki efek yang merusak bagi sebuah tatanan kehidupan
berkeluarga, bila terus berjalan dalam
jangka rentang waktu yang panjang.
Kondisioner lain sebagai dampak trauma swami pasca mengalami penolakan hasrat sekualnya, swami
cenderung labil hidupnya. Kegairahan menjalani
kehidupan cenderung apatis, kehilangan semangat untuk melakukan berbagai
aktifitas, bahkan menjadi mahluk yang minder dihadapan lelaki lain yang normal
dalam kehidupan seksulanya. Hidupnya menjadi suram, masa depannya seperti
terkubur, apalagi untuk menanamkan sebuah cita-cita, sangat jauh dari panggang.
Secara fisik, swami yang mengalami
taruma seperti itu, [maaf] “penisnya” nampak menyusut, dan kurang sensitif
terhadap rangsangan, kemampuan untuk membangiktan hasrat sekualnya menjadi
ambigu, disatu sisi ia, para swami frustasi karena gagal menjadi swami yang
ideal dalam kehidupan seksualnya, tatapi disisi lain, ia, para swami masih
merasa normal, bahwa ia, masih menginginkan kehidupan seksual yang normal
tersebut.
Hal lain yang tak terfikirkan
adalah, kerapuhan fisik khususnya dibagian persendian. Persendian menjadi lebih mudah rapuh dirasakan
oleh swami yang mengalami traumatik
penolakan seksual istri. Mungkin istilah umumnya, dengul kropos, oleh kebanyakkan
oram awam disebutnya seperti itu. Karena kelelahan fisik lebih mudah datang,
staminanya menjadi menurun drastis, yang disebabkan akibat dampak dari faktor
psikologis yang dialaminya itu.
Mungkin dampak terburuk lainnya yaitu, wajahnya nampak
kusam, dan terkesan lebih tua. Penampakan ini bukan tanpa sebab. Swami yang seksualnya
normal, akan merasa rilaks ketika hasrat seksualnya sudah tersalurkan, kondisi
rilesk inilah yang berputar menjadi seratus delapan puluh derajat, atau berputar
berlawanan. Orang yang rileks nampak wajahnya lebih cerah, sumringah dan tampak
lebih mudah dari usianya, tetapi sebaliknya, orang yang trauma, ia jauh dari
suasana rileks, sehingga terkesan tegang, lusuh, luyu, dan tak bersahabat
dengan lingkungannya, maka wajah swami yang mengalami traumatik penolakkan
hasrat seksualnya oleh istri, ia akan nampak lebih tua.
Dan terakhir dampak tarumatik
yang paling fatal sekali adalah, kecenderungan berputus asa, ingin mengakhiri
hidup lebih cepat dan mungkin saja berkeingin untuk bercerai. Karena ketika
kehidupan seksualnya seorang swami sudah mati, perasaan semua seolah menjadi
terkubur. Jadi untuk apalagi, ia para swami menjalani kehidupan yang seperti,
hidup segan mati tak hendak. Kefrustasian yang paling fatal adalah persaan
ingin bunuh diri, atau berdoa agar dicepatkan kematian untuknya, agar tak
terlalu lama menjadi kehidupan seperti itu. Bila swami tersebut memiliki
kemampuan finansial yang sehat, bukan tidak mungkin guguatan cerai akan
dilakukannya.
Ternyata begitu panjang, dan
banyak dampak yang dialami swami, ketika sebuah hasrat seksual yang normalnya
itu terhambat, tertolak, oelh istri. bukan tidak mungkin ada hal lain yang
belum terungkap lebih detail dari paparan ini. Semoga menjadi bahan renungan bagi para wanita yang belum
berswami, para pengantin baru dan lama khususnya para istri. Nasihatnya, lakukanlah
hal terbaik untuk swaminya.
Dari Thalqu bin Ali,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang suami
mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun
dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh
Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi wanita untuk
berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR.
Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila suami mengajak
istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam
harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR.
Bukhari: 11/14)